KONTROVERSI MAKNA MAJAZ DALAM MEMAHAMI HADIS NABI

  • Khotimah Suryani Universitas Islam Darul Ulum
Keywords: pemaknaan, majaz, isti’arah, ta’wil

Abstract

Pemaknaan secara majaz dalam bahasa Arab memiliki porsi yang besar dan luas bila disandingkan dengan pemaknaan secara harfiyah, makna asal, makna letterlijk atau makna tekstual. Rasulullah SAW adalah orang yang paling tepat (afshah) ketika melafalkan huruf dalam ungkapan berbahasa Arab. Artinya; Rasulullah adalah orang yang paling mengerti melafalkan ungkapan-ungkapan berbahasa Arab yang bermakna majaz. Dalam penerapannya sebagai sebuah metode, teori atau pendekatan untuk memahami ayat al-Qur’an dan hadis Nabi makna majaz tidak secara otomatis bisa diterima oleh masyarakat muslim secara keseluruhan. Ada kelompok yang bisa menerima dan ada kelompok yang menolak. Mencermati problematika pemaknaan hadis secara majaz, ditambah dengan terjadinya pro dan kontra di kalangan ulama, maka dalam makalah ini perlu dirumuskan: (1) bagaimana dialektika makna majaz; (2) bagaimana penerapan makna majaz pada hadis-hadis ahkam; (3) apa bahayanya jika makna majaz ditutup; (4) apa saja batasan-batasan makna majaz; serta (5) bagaimana penolakan Ibnu Taimiyah atas makna majaz.  Untuk mendapatkan jawaban dari berbagai rumusan masalah di atas, tulisan ini disajikan menggunakan metode deskriptif-analitik. Penyajian data dilakukan secara deskriptif lalu dilakukan analisis, kemudian diakhiri dengan penyimpulan.

Setelah dilakukan pemaparan dan analisis tentang persoalan tersebut maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: (a) Memahami hadis dengan makna majaz terkadang menjadi keharusan karena hadis tersebut mengharuskan untuk diapahami seperti itu. Jika tidak maka pemahamannya menjadi salah dan tidak bisa diterima. Pemahaman yang salah atas content hadis bisa terjadi kepada siapa saja, tak terkecuali para sahabat Nabi dan isteri-isteri Nabi; (b) Semua alur pemaknaan hadis hakikatnya menolak makna hakiki (letterlijk) jika dengan makna hakiki itu menjadikan sempit ruang agama itu sendiri, sehingga agama tidak bisa diterima secara sukarela, ditolak akal sehat, tidak realistis dan tidak dibenarkan ilmu pengetahuan; (c) Pemaknaan secara majaz tidak hanya terbatas pada hadis yang content-nya bersifat non-ahkam, namun terjadi pula pada hadis-hadis  ahkam. Seorang mufti bisa mengeluarkan fatwa yang salah sekalipun bersumber dari dalil yang shahih jika mereka memaknai secara tekstual atas hadis-hadis yang mengharuskan untuk dimaknai secara majaz; (d) Menutup makna majaz akan menyulitkan ulama dalam memahami hadis Nabi, bahkan menyulitkan atas Islam itu sendiri. Ulama moderen dan kalangan terpelajar beranggapan bahwa menutup makna majaz dapat menimbulkan keraguan atas kebenaran Islam jika dalil-dalil agama hanya dimaknai secara dhahir; (e) Bila teks-teks hadis dipahami secara ta’wil (yang hal ini merupakan bagian dari majaz) maka bisa mengkhawatirkan salah makna jika pemahaman tersebut tidak dibenarkan logika bahasa (‘aql), dalil agama (naql) dan kaidah-kaidah al-‘ulum al-‘arabiyyah; (f)Penolakan Ibnu Taimiyah atas makna majaz dalam teks-teks keagamaan semata-mata karena kehati-hatian untuk tidak tergerus arus pemikiran yang secara berlebihan memahami teks keagamaan dengan majaz yang overdosis. Oleh karena itu ia mengembalikan pemahaman teks keagamaan kepada makna tekstual sebagaimana yang dilakukan ulama sebelumnya.

Downloads

Download data is not yet available.
Published
2019-04-25
How to Cite
Suryani, K. (2019). KONTROVERSI MAKNA MAJAZ DALAM MEMAHAMI HADIS NABI. Dar El-Ilmi : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora, 6(1), 157-184. https://doi.org/https://doi.org/10.52166/dar%20el-ilmi.v6i1.1610
Section
Articles